Suatu hari di negeri antah berantah dimana manusia tidak bisa berbicara dan hanya benda yang berbicara, hiduplah sebuah Kertas dan Tinta yang selalu mengeluh dengan pola kerjanya. Mereka tinggal disebuah perpustakaan besar yang bernama Buku.
Entah karena sangat Tinta yang sangat perfeksionis atau karena Kertas yang hanya diam saja..
Tinta selalu saja mengatur jalannya cerita yang tertulis dikertas sampai kertas muak mendengar segala cemoohan Tinta tentangnya.
Tak ada barang subtitusi lain untuk menulis. Hanya ada Tinta, tidak ada pensil atau pun pulpen. Tinta. Hanya Tinta. Itulah mengapa Tinta selalu sombong.
Tinta selalu bilang kertas tidak pernah sedikit pun membantu mewujudkan inspirasi.
Tinta selalu bilang tanpa adanya tinta, Kertas bukan apa-apa.
Tinta selalu bilang ia sumber perhatian dibidang tulis-menulis.
Tinta selalu bilang ini dan itu, ia memojokkan kertas.
Selalu.
Siapa saja bisa marah, begitu juga dengan Kertas. Ia pergi meninggalkan Tinta. Pergi meninggalkan Tinta dan tak akan pernah mau kembali untuk Tinta.
*
Kertas pergi jauh meninggalkan Tinta. Sudah tiga hari Kertas berjalan melewati Buku dan belum menemukan jalan keluar. Setiap tempat yang Kertas lewati selalu membawa ia kembali kepada Tinta. Ingatan kepada Tinta lebih tepatnya. Saat Tinta sedih, tertawa, berlari, bahkan marah. Kertas sebenarnya masih bisa mengurungkan niatnya untuk pergi, tetapi ia tidak bisa menanggung rasa sakit ini lagi. "Ini demi kebaikan, Tinta juga" ujarnya sambil pergi.
"Kertas!" Kertas menoleh, selama nama itu masih miliknya, ia masih bisa menengok kapan saja bukan? Ternyata Paragraf yang ditulis diatas daun. "Aku mohon kamu kembali. Kamu bisa lihat jelas kan apa jadinya Tinta tanpa kamu? Aku. Aku aneh. Aku bahkan tak layak dipanggil dengan sebutan paragraf lagi,kamu pikir kita hidup dijaman batu. Di mana kertas belum ada? Ayolah ku mohon" pintanya. Kertas hanya tertegun melihat Paragraf dan berkata "tak usahlah kau minta aku kembali, toh Tinta masih bisa menulis di atas daun kan? Buat apa ada kertas. Dia sudah punya penggantinya kan?"
Kertas melanjutkan perjalanannya kembali dan mencari cara keluar dari perpustakaan ini. Semakin cepat keluar semakin ia berhasil melupakan Tinta dan kenangan-kenangan itu. Menggerutu adalah sebuah kegiatan yang telah ditinggalkan Kertas bertahun-tahun lalu, ia jarang sekali menggerutu.
Setelah berjalan kurang lebih ke arah utara selama 8 hari, Kertas berhasil keluar dari Buku--deritanya. Diluar hujan dan Kertas tak tau yang harus ia lakukan.
Tak lama, Kertas melihat Tinta berjalan dengan tutup setengah terbuka, "ia bisa kering" pekik Kertas dalam hati. Mungkin tak ada yang mengingatkan Tinta untuk menutup kemasan setelah menulis. Kertas yang biasa mengingatkan. Kertas tak mungkin berlari menembus hujan karena ia rapuh, namun tak mungkin juga ia terus berada didalam Buku, ia gengsi bertemu Tinta katanya.
Egonya membumbung. Kertas berlari menembus hujan dan tidak selamat sampai ke sebrang. Apa gunanya secarik kertas yang telah basah? Mungkin bisa ditunggu sampai mengering, tetapi akankah penulis mau menulis di kertas yang telah mengeriting?
Tinta? Ia mengering kehilangan Kertas. Inspirasinya selama ini memang hanya Kertas. Tinta tak akan bisa berbuat apa-apa tanpa ada Kertas. Tak ada yang ditulis berarti mengering. Tinta bukan apa-apa tanpa Kertas. Bukan apa-apa. tinta tanpa kertas bukan apa-apa.
P.S:
Jika Tinta tanpa Kertas bukan apa-apa, aku akan menjadi apa walaupun tanpa kamu.
XXX
No comments:
Post a Comment