Saya berjalan menyusuri lika-liku kehidupan dan sampailah saya didepan sebuah pintu. Pintu itu rapuh, namun sangat menarik perhatian saya untuk mendekat. Perlahan tapi pasti, saya dekati pintu itu. Tampilan pintunya yang rapuh itu memang gangguan terberat untuk saya, tapi saya penasaran. Ingin mendekat dan terus melihat dari dekat.
Saya duduk didepan pintu itu. Setiap hari. Tak saya temukan sedikitpun petunjuk apa-pun dari pintu itu. Tidak sama sekali.
Suatu hari, saya letih dan titik jenuh saya sudah mencapai puncaknya. Saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan, namun hari itu, si pemilik pintu menampakan diri dan kami mulai mengenal. Banyak bercerita dan berceloteh. Banyak tertawa dan menangis. Banyak berharap dan mengeluh. Kami menjadi dekat.
*
Kami berbagi rahasia. Banyak bercerita dan berceloteh. Banyak tertawa dan menangis. Banyak berharap dan mengeluh. Kami semakin dekat.
Si pemilik pintu memberikan sebuah kunci karena rupanya ia menyadari ketertarikan saya yang besar akan pintu yang rapuh dan rupawan itu. Ia berkata bahwa saya akan bisa memegang kunci, namun ia tidak berkata kapan saya harus membuka pintu itu.
Setelah si pemilik pintu memberikan kunci, ia pergi dan tak pernah menampakan diri lagi.
Satu, dua, tiga, dan empat hari saya lalui. Namun tetap, si pemilik kunci tidak pernah menampakan diri.
Lima, enam, tujuh, delapan, dan sembilan hari saya lalui, sampai kapan saya harus menunggu sampai si pemilik kunci kembali?
Hari ke sepuluh, saya berkeliling disekitar pintu itu untuk mencari celah di pintu, namun tak sedikit pun terlihat.
Sebelas, duabelas, tigabelas, empatbelas, limabelas, enambelas, tujuhbelas, delapanbelas....saya letih menghitung. Ia tetap belum kembali.
Saya letih. Saya berdiri selama delapanbelas hari. Mencari celah dan sedikit mengintip apa yang ada dibalik pintu, namun itu tertutup. Besar sekali keinginan untuk mencoba membuka pintu. Tapi yang saya rasa hanyalah kebohongan. Saya mencoba kunci pemberiaan si pemilik namun kunci itu tidak bisa dan tidak cocok untuk pintu ini.
Bohong. Dari awal ia memang tidak mau memberitahu apa yang ada dibalik pintu tersebut. Ia hanya memberikan kunci. Kunci yang bahkan tidak cocok dengan pintu tersebut. Buat apa dari awal ia memberi kunci ini.
Saya ingin sekali membuang kunci ini dan melanjutkan perjalanan saya. Bisa kalian bayangkan, delapanbelas hari saya hanya membuang-buang waktu. Saya ingin sekali membuang kunci ini, tapi tidak bisa, saya merasa berkewajiban mengembalikannya langsung kepada si pemilik.
Sampai sekarang saya masih menggenggam kunci ini erat-erat sebelum bisa untuk melepaskannya.
Saya tahu, sangat letih memang, berdiri dan tertatih didepan pintu rumah yang bahkan saya pun tidak tahu akan ia bukankan atau tidak.
Yang saya tahu, saya diberi kesempatan ini dan kalau mereka bisa, kenapa saya tidak?
P.S:
Analogi ini memang absurd. Jangan dilanjutkan membaca
LOVE
OOX