Wednesday, June 9, 2010

Aku dan Impianku

Sejak kecil, saya tidak pernah bermimpi menjadi dokter. Jadi dokter itu sulit. Sulit uang, sulit otak, sulit peka (loh, kalau pasiennya takut, dokter kan harus peka juga), dan juga sulit-sulit yang lain. Sepertinya saya cukup jadi pasien teman-temanku yang menjadi dokter saja.

Masih kecil dulu, sepertinya saya tidak pernah dibayang-bayangi akan menjadi apa saat dewasa nanti. Ya, begitulah. Melodi lagu "Susan Susan Susan, kalau gede mau jadi apa?" mungkin salah satu inspirasi bagiku untuk mencari cita-cita. Saya berbeda dengan Susan, ia ingin sekali menjadi dokter, namun tak pernah tumbuh dewasa. Yah, Susan akui saja, kamu memang terlahir untuk selalu kecil (jangan salahkan saya, ini fakta)

Cita-cita saya yang pertama adalah menjadi professor. Dahulu saya sangka professor itu adalah ilmuan yang menemukan penemuan-penemuan baru, ternyata bukan. Professor adalah orang yang dapat gelar kehormatan karena karya tulis dan pembuktian karya tulisnya (seperti disertasi dan teman-teman, dan saya tidak expert dalam masalah ini). Cita-cita menjadi professor kandas sudah setelah mengetahui faktanya. Saya mau jadi ilmuan, namun saya tidak berminat pada IPA, jadi........ 

Cita-cita saya selanjutnya, menjadi astronot. 
-___- aneh ya? Mungkin karena dulu kebanyakan nonton film luar negeri dan ingin bergabung dengan NASA yang eksis itu (sekarang masih eksis kan yah?) tapi ada gosip katanya astronot di Indonesia agak aneh dan kalau mau jadi astronot, seenggaknya pergi ke luar negeri dan akhirnya mimpi menjadi astronot kandas ditengah jalan dputus oleh rantai kenyataan (mulai deh figurative language-nya keluar)

Selanjutnya, saya mau menjadi penulis komik.
Pada masa usia 8 tahun minat saya akan membaca tersalurkan dengan fasilitas yang papa mama miliki. Buku. Banyak buku. Buku memasak, buku agama, buku bergambar, sampai-sampai cerita kolom di surat kabar. Buku seperti mengubah cara pandang akan hidup. Entahlah. Saat saya membaca sebuah komik di toko buku, saya memutuskan untuk menjadi penulis komik misteri. HAHAHA, konyol memang. 
Saya mau jadi penulis komik, pindah ke jepang, menggambar manga, dan dibuat anime. Sangat klasik. Sekali lagi saya tegaskan, saya buruk dalam menggambar. Menggaris lurus pun masih belum bisa, garis-garis dibuku masih menjadi panutan saya untuk menulis indah. Ya, saya masih terkekang dengan garis dan apabila saya diberikan kertas kosong tanpa garis, saya akan menyulap kertas kosong tersebut menjadi sebuah kertas yang dipenuhi gambar gunung (saya tidak bisa menulis lurus dan saya pernah kecewa. Namun sekarang, saya tahu artinya bahwa tulisan anak kecil yang naik-turun seperti gunung itu diakibatkan oleh impian dan cita-cita yang mempengaruhinya)
Mimpi ini tetap saya lanjutkan bahkan sampai sekarang.

Setelah tumbuh makin dewasa dan kecintaan saya akan bahasa terus bertambah, saya memutuskan untuk menjadi penerjemah buku asing. Saya mencintai bahasa, segala peraturan dibahasa, dan saya juga bercita-cita menguasai minimal lima bahasa asing. Jujur, mimpi ini sempat terlupa begitu saja dengan hiruk-pikuknya dunia SMP dan waktu yang (seolah-olah) sedikit sehingga saya tidak bisa belajar bahasa asing dengan maksimal. Mimpi saya (lagi-lagi) kandas ditengah jalan. 

Saya mulai mencari pelarian dari bahasa-bahasa asing, saya menekuni bidang psikologi dan yaa tebakan anda benar. Saya ingin menjadi psikolog. Saya mulai membaca beragam buku psikologi, saya membaca banyak buku self-improvement, dan akhirnya saya keluar dari jaman kegelapan saya (baca: sorrow, galau, dan lain-lain) 
Saya semakin banyak membaca buku. Bukan buku komik dan buku random seperti dulu, namun buku-buku fiksi. Saya mulai berani menulis karya saya sendiri, terilhami dari fiksi misteri yang ditulis sahabat saya, Karina. Dunia dan bidang tulis-menulis telah saya geluti, dari menulis cerpen, novel (entah itu novel atau bukan tetapi saya menulis baru beberapa halaman saja, jadi itu novel bukan?), dan puisi. Saya jatuh cinta dengan puisi. Puisi membiarkan saya bebas tanpa merasa terikat. Saya bisa saja menulis puisi dengan beberapa huruf dan memiliki makna yang luas, dibanding novel atau cerpen dengan syarat minimal jumlah halaman (aturan ini serasa mengikat saya)

Saya mencintai dunia menulis ini, khususnya puisi (tentu saja analogi juga). Sangat. Dengan puisi, saya bisa mengungkapkan perasaan saya tanpa harus diketahui secara gamblang.
Saya akui, saya mengangkat topi dengan kelabilan anak-anak kecil dalam memilih cita-cita meraka. Saya rasa mereka akan mengerti mengapa terjadi banyak keputusan dan pemilihan cita-cita. Hal itu cukup dijelaskan dengan membaca ulang posting ini dari awal sampai akhir. Dan saya rasa, posting ini sudah bisa menjawab pertanyaan mengapa Susan mempunyai banyak cita-cita. Beragam cita-cita dengan satu tujuan yang sama yaitu bahagia.


P.S:
Dengan tercapainya awal mimpi saya di psikologi, saya masih bisa tetap menulis kan?

Dream-Chaser

1 comment:

  1. mantap lah. tar klo jadi psikolog gw bisa konsultasi gratisan dnk neh.. ngobrol - ngobrol gk jelas. hahahahaha ^_^

    ReplyDelete